Antara Syukur, Ujub, Takabbur itu Beda Tipis

Setiap orang beriman pasti akan bersyukur kepada Allah dan berkata “Alhamdulillah”. Apabila Allah menyelamatkan mereka dari musibah. Musibah jasmani (kecelakaan, kehilangan, dan sebagainya) ataupun musibah rohani (terhindar dari suatu maksiat).

Syukur adalah suatu ketaatan yang dapat dilakukan dengan hati dan anggota tubuh. Syukur adalah ciri hamba-Nya yang bertaqwa.

Akan tetapi, syukur yang tak terukur seringkali melewati “garis batas” yang sangat tipis, halus, hampir-hampir tidak disadari oleh mereka yang hanya sekedar bersyukur.

Kemudian memasuki area yang sangat berbahaya, area yang merupakan tanah subur bagi benih-benih sebab iblis dikeluarkan dari jannah-Nya, Ujub, merasa bangga terhadap diri dan Takabbur, sombong.

Syukur yang tak terukur bisa menjadi ujub yang merasuk ke dalam hati, dan puncaknya adalah takabbur. Bagaimana mungkin syukur yang merupakan amalan mulia bisa menjadi amalan tercela, ujub bahkan takabbur (sombong)?

Perhatikan, dan renungkan. Pernahkah kita mendengar atau melihat ada teman, orang lain yang tak dikenal yang mendapat musibah, seperti kecelakaan, tertabrak mobil, jatuh saat mengendarai motor, tertimpa tangga?

Sementara kita belum bahkan tidak pernah mendapat musibah seperti itu, lalu apa yang kita lakukan? Sudah pasti kita bersyukur dan mengucapkan “Alhamdulillah”.

Namun, sangat disayangkan, syukur dan ucapan “Alhamdulillah” seringkali kita tidak menyadarinya, dilakukan dengan intonasi yang sinis, begitu juga dengan bahasa tubuh dan kata-kata tambahan yang menyindir. Hanya saja, yang terkena musibah itu teman atau orang yang tidak kita suka.

Apalagi, jika yang kita dengar adalah teman atau orang lain tersebut melakukan maksiat; mencuri, pacaran, zina, dan sebagainya; kemudian terungkap padahal dia sudah bertobat dari maksiat itu.

Hati-hati, syukur anda sudah tak terukur, merasa bangga tidak pernah khilaf, merasa bangga tidak pernah melakukan maksiat, akhirnya merasa diri paling suci dan yang lain hina.

Ya, ujub sudah menggantikan syukur, lebih parah lagi, jika tidak disadari bisa berubah menjadi takabbur. Na’udzubillah mindzalik.

Ujub adalah perilaku mengagumi diri sendiri dan senantiasa membanggakan diri sendiri. Merasa memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain.

Ibnul Mubarak berkata, “Ujub adalah ketika engkau merasa bahwa dirimu memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain.”

Ujub merupakan sifat yang tercela yang harus dihindari oleh setiap muslim, karena Ujub bisa menjerumuskan seorang muslim kepada sifat Takabbur (sombong). Imam Al-Ghazali berkata,“Ujub adalah kecintaan seseorang pada suatu karunia dan merasa memilikinya sendiri, tanpa mengembalikan keutamaannya kepada Allah.”

Ada banyak sebab yang bisa menimbulkan rasa Ujub pada di seseorang, bisa karena sering dipuji orang, banyak meraih kesuksesan, punya kekuasaan dan yang semisalnya.

Itu semua adalah sebab yang bisa terlihat oleh mata dan dirasakan oleh diri sendiri dan orang lain

Namun, ada juga sebab yang tidak terlihat dan tidak dirasakan oleh diri sendiri tapi orang lain bisa melihat dan merasakannya. Merasa aman dari dosa karena tidak pernah bermaksiat dan bangga dengan diri yang “tersucikan” dari dosa.

Alhamdulillah ya, saya mah ga pernah mencuri seperti fulan”

Maa syaa-Allah, tau ga sih?! saya mah ga pernah pacaran seperti si fulanah

Alhamdulillah, saya mah ga pernah gini, ga pernah gitu, bla bla bla”

Bukan nasehat penuh hikmah yang terucap setelah kalimat syukur, akan tetapi serangkaian kata dengan intonasi meremehkan dan diikuti dengan isyarat tubuh yang mengejek.

Maka itu bukanlah lagi suatu ungkapan syukur. Itu telah berubah menjadi sikap ujub dan takabbur.

Cukuplah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjadi renungan

مَن عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَم يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ>

“Barangsiapa yang mengejek saudaranya (seiman) dengan suatu dosa yang saudaranya lakukan, maka dia tidak akan mati sampai melakukan dosa tersebut” (HR. At-Tirmidzi)

Imam Ahmad mengomentari hadits ini “Maksudnya dosa yang dia sudah bertaubat darinya”. Imam Ibnul Qoyyim berkata dalam kitabnya Madarijus Salikin, “Setiap maksiat yang kamu jadikan celaan bagi saudaramu, maka maksiat itu untukmu (kamu akan melakukannya)”

Jadi, bersyukurlah dengan syukur yang terukur, ikhlash tanpa merasa diri yang paling diberi sehingga merasa paling suci.

Wallahu a’lam bish-showwab

Topik :
Nasihat Tazkiyah